Kamis, Desember 16th, 2021

POJOK HUKUM

Referensi Berita Akurat,Independen ,Berimbang

Presidential Threshold akan Berdampak Buruk untuk Demokrasi Indonesia, Rafly Harun: Presidential Threshold ini Merenggut Hak Konstitusional Pemilih

Kamis, 16 Desember 2021 by Redaktur : Cahaya Harahap,S.H.
Ilustrasi kotak suara dalam pemilihan umum

Pojokhukum.com – Kembali mencuat ke permukaan publik tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Pasalnya Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 sudah berulang kali dilakukan uji materi ke MK, namun berulang kali pula ditolak MK dengan dasar tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Sejumlah pihak tidak sepakat dengan adanya ambang batas atau presidential threshold 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Syarat itu tertulis dalam pasal 222 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017.

Pemberlakuan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 itu dianggap telah mencederai Demokrasi Indonesia, bahkan merenggut hak konstitusi setiap warga negara Indonesia sebagai pemilih dalam pemilu.

Undang-undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 ini telah beberapa kali di gugat ke MK untuk dimintakan pembatalan terhadap pasal 222, namun sampai saat ini MK urung mengabulkannya. MK selalu menolak dengan dalih tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kini, Undang-undang yang dianggap memihak pemerintah yang berkuasa tersebut diajukan kembali oleh mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo dengan kuasa hukumnya Refly Harun. 

Dalam permohonannya ke MK, Gatot meminta hakim MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017. Menurutnya, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.

Sedangkan menurut Refly, dalam kondisi faktual pada Pilpres 2019 pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik. Selain Itu, masalah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) merupakan masalah pokok utama terkait pengembangan demokrasi di masa mendatang. 

Dalam keterangan lain beberapa pihak pun sependapat untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), sehingga dalam kontestasi politik 2024 kelak akan banyak alternatif calon yang maju di Pilpres, dan memberi kesempatan untuk anak bangsa dari kalangan non partai.

Pakar Politik Siti Zuhro mengatakan, dengan pemberlakuan ambang batas atau presidential threshold 20 persen akan menyebabkan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional.

“Ambang batas pemilihan presiden membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja,” kata Siti Zuhro, Minggu (14/11).

Siti juga berpendapat bahwa ambang batas pemilihan presiden mengakibatkan kompetisi berlangsung secara tidak adil.

“Selain perempuan, anak muda, figur-figur non-partai, figur-figur atau tokoh daerah yang tidak terafiliasi partai juga dirugikan (oleh adanya ambang batas pemilihan presiden).

Senada dengan Siti Zuhro, Waketum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi Setuju dengan penghapusan Presidential Threshold, ia beranggapan dengan penghapusan presidential threshold akan berdampak baik untuk regenerasi pemimpin di negeri ini. Viva Yoga meyakini, dengan penghapusan presidential threshold, calon-calon pemimpin baru negara ini akan bermunculan di Pilpres 2024.

“Akan memunculkan dan tumbuh tunas-tunas baru bagi kepemimpinan bangsa dan negara, karena sudah tidak ada lagi pembatasan dalam pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik,” Ujarnya dalam keterangan tertulis (12/12) lalu.

“Akan menghilangkan kesan dan persepsi negatif kepada partai politik yang dianggap sebagai pembajak sistem demokrasi Pancasila dan menjadi akar kepemimpinan oligarki sebagai virus dari kesehatan demokrasi,” tambahnya Viva Yoga.

Untuk diketahui bahwa Presidential Threshold dipahami sebagai batas minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu. 

Penerapan threshold adalah untuk mengurangi jumlah peserta pemilu, jumlah parpol yang duduk dilembaga perwakilan, dan jumlah parpol/kelompok parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

Dikutip dari Hukumonline.com menjelaskan bahwa Gotfridus Goris Seran dalam bukunya  (hal. 557) mendefinisikan Presidential Threshold sebagai ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Misalnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Sehingga dengan pemberlakukan presidential threshold akan menutup celah bagi pasangan calon presiden baru dari kalangan Non Partai atau Akademisi, selain itu juga dengan pemberlakuan presidential threshold sudah pasti menutup akses bagi partai-partai yang tidak memiliki suara 20 persen di parlemen, ujar Refly Harun, dalam kanal Youtube (8/12)

Bunyi dari Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Baca juga  Barang bukti OTT Walikota Kota Bekasi mencapai Rp 5,7 Miliar, KPK tetapkan 9 orang Tersangka

Tags :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *