Selasa, Mei 4th, 2021

POJOK HUKUM

Referensi Berita Akurat,Independen ,Berimbang

“CATCALLING” PELECEHAN BAGI KAUM PEREMPUAN

Selasa, 4 Mei 2021 by Redaktur : Cahaya Harahap,S.H.

Perkembangan kawasan perkotaan menjadi titik kumpul para pendatang untuk mencari penghidupan, tidak terbatas oleh usia, gender, suku ataupun agama. Hal tersebut membuat titik singgung antara individu satu dengan individu lainnya semakin dekat, sudah barang pasti celah tindak pidana semakin terbuka lebar. Umumnya kejahatan menyasar kaum wanita, walau tak sedikit kaum pria pun menjadi korban kejahatan 

Bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak hanya fisik namun psikis, seksual hingga kekerasan ekonomi, hal ini menerangkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih membudaya. Dalam catata tahunan komnas perempuan (Catahu) 2020 merilis tingkat kejahatan terhadap perempuan dalam ruang Personal/Privat.

Menurut catatan tahunan komnas perempuan pada tahun 2020 terjadi peningkatan sebanyak 20,2 persen laporan kejahatan terhadap wanita atau sebanyak 1.960 ribu laporan, yang semula hanya 1.631 laporan pada tahun 2019.

Sedangkan, untuk jumlah kekerasan terhadap perempuan sendiri Komnas perempuan mencatatn yaitu paling tinggi kekerasan secara fisik sebanyak 4.304 kasus, dan kekerasan secara seksual sebanyak 3.325 kasus.

Catcalling terkategori dalam kejahatan pelecehan seksual verbal di ruang publik yang mana korbannya kebanyakan adalah wanita. dan biasanya terjadi di jalan raya, gank atau area fasilitas umum yang berujuk pada tindak kekerasan seksual.

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menjelaskan, catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis. 

“Terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Korban merasa dilecehkan, tak nyaman, terganggu, bahkan terteror,” kata Rainy kepada Kompas.com, (7/2/2021).

Rainy menegaskan, pelecehan terjadi bukan karena penampilan atau apa yang dipakai korban, tetapi memang kultur si pelaku pelecehan. Ia juga menekankan, tindakan seperti ini tak bisa dibenarkan. 

Dampak Catcalling dapat menimbulkan trauma berkepanjangan terhadap korbannya. Korban jadi membatasi mobilitasnya jika tidak ditemani saat keluar rumah, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup dan menghambat perkembangan pribadinya. 

“Segala bentuk pelecehan seksual tak boleh dibiarkan, apalagi atas nama perbuatan iseng, bila kita ingin membangun masyarakat tanpa kekerasan,” kata Rainy. 

Di Indonesia, kasus catcalling hampir setiap saat dirasakan oleh para pengguna tempat umum seperti transportasi publik, jalan raya ataupun lingkungan kerja. Terutama untuk transportasi umum, pada tahun 2014 Jakarta ditempatkan sebagai urutan kelima yang memiliki transportasi umum paling berbahaya dari 15 kota besar di dunia (Thomson Reuters Foundation, 2014). Kasus catcalling di Indonesia ini masih belum dianggap menjadi hal yang serius, melainkan menjadi risiko untuk wanita yang harus diambil ketika memutuskan untuk bepergian sendiri. 

Selain bersiul banyak rupa tindakan catcalling, contoh tindakan yang termasuk catcalling adalah mengklakson perempuan di jalan, serta menggoda dan melontarkan ucapan bernada seksual kepada perempuan tak dikenal di jalan, termasuk dengan kata-kata seperti ini: “Hai, cantik, mau kemana?” atau “Manis banget sih pakai jilbab begitu.”

Permasalahan ini kian meluas mengingat belum ada kesadaran untuk dapat mengurangi atau menjerat pelaku dalam sebuah hukuman. Di Indonesia, pelecehan seksual belum dapat diinternalisasi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289-296 dengan artian perbuatan yang melanggar kesusilaan, perbuatan keji dan dalam nafsu birahi (Hukumonline, 2011).

Berbagai dampak yang diterima oleh wanita ketika menjadi korban dari catcalling, diantaranya adalah terganggunya kesehatan mental dan rasa takut untuk menghadapi lingkungan. Kesehatan mental dapat terganggu dikarenakan wanita yang diberi komentar mengenai fisik atau bagian tubuh yang tidak dapat dikatakan sebagai salah satu pujian melainkan sebuah gangguan. Hal ini dikarenakan catcalling memiliki pengaruh buruk pada penurunan tingkat self-esteem atau harga diri dari wanita (Manalo, Mercado, Perez, Rivera, & Salangsang, 2016). Wanita dapat merasa tidak percaya diri lagi dapat merasa dirinya tidak terlalu bernilai dimata orang lain dan kemungkinan memikirkan hal tersebut secara berlebih atau overthinking. Tingkat keparahan pada penurunan dari self-esteem dapat berujung pada penyebab dari depresi, karena rasa kurang percaya diri dapat membatasi ruang untuk berekspresi.

Kapan dan dimana catcall biasanya terjadi? Menurut survei pelecehan seksual yang melibatkan 470 responden perempuan di Jakarta, sebanyak 18% korban pelecehan itu memakai celana panjang dan rok panjang, 17% memakai jilbab, 16% memakai baju panjang, dan 14% memakai seragam sekolah. Pelecehan seksual termasuk catcalling juga lebih banyak terjadi pada pagi dan siang hari, baik di jalanan maupun di transportasi umum. Jadi, nggak benar ya mitos usang yang bilang bahwa pelecehan terjadi karena perempuan memakai baju terbuka, atau terjadi karena perempuan ‘keluyuran’ di malam hari.

Apa yang menjadi batasan antara catcalling dan bukan catcalling ? Satu hal terpenting yang membedakan suatu hal itu termasuk pelecehan atau bukan adalah soal consent atau persetujuan. Jika seseorang merasa terganggu dengan siulan, atau sapaan bernada seksual. Menjaga pandangan dan ucapan merupakan salah satu bentuk menghargai orang lain, lho; bukan cuma kepada laki-laki, tetapi juga perempuan.

Baca juga  KEDUDUKAN DEPT COLLECTOR DI MATA HUKUM

Tags :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *