Senin, Juli 13th, 2020

POJOK HUKUM

Referensi Berita Akurat,Independen ,Berimbang

RUSAKNYA PROFESI PERS AKIBAT ULAH WARTAWAN ABAL ABAL

Senin, 13 Juli 2020 by Redaktur : Cahaya Harahap,S.H.

Posisi pers dan profesi wartawan yang strategis rupanya menjadi incaran baru untuk mendapatkan uang secara mudah. Hal ini yang membuat ada banyak orang ingin menjadi wartawan dengan cara mudah melalui jalan pintas. Banyak mantan wartawan dan orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad mendirikan perusahan pers dengan modal minim. Banyak di antara mereka yang makelar, loper koran, sopir taksi, bahkan ada yang tukang tambal ban, mengaku sebagai wartawan.

Mereka bisa membuat kartu pers sendiri hanya bermodalkan pas foto dan uang, bisa datang ke tukang fotokopi dan membuat tanda pengenal sesuai yang mereka butuhkan. Sisi lain, media-media jenis abal-abal juga mempekerjakan orang secara sembarangan tanpa memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai wartawan. Tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan ketrampilan jurnalistik, pemilik media memberikan kartu pers yang dibuatnya sendiri. Hal ini melahirkan wartawan instan tanpa bekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai apalagi kompetensi sebagai wartawan profesional.

Bahkan kerap tanpa gaji dan malah mewajibkan sang “wartawan” untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media. Para wartawan minus kompetensi inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai wartawan abal-abal. Orang jenis ini kerap mencampur-adukkan antara kerja wartawan dengan pengacara, atau aktivis LSM.

Para wartawannya banyak yang merangkap sebagai pengurus LSM abal-abal, sopir taksi dan lain-lain. Dalam kemerdekaan pers yang sedang kita nikmati ini, mereka adalah para penunggang gelap kemerdekaan pers. Adapun ciri-ciri umum wartawan abal-abal yang dimaksud antara lain berpenampilan sok jago dan tak tahu etika, tak punya tata krama, mengaku anggota organisasi wartawan tak jelas (di luar PWI, AJI, dan IJTI)5 , menggunakan atribut aneh, misalnya gelang dan kalung emas atau jam tangan Rolex, pertanyaan mereka ajukan umumnya tendensius, demikian pula tulisannya biasanya menuduh. Umumnya para abal-abal ini juga meremehkan bahkan kadang mengancam narasumber dan yang pasti mereka tak bisa menunjukkan kartu kompetensi sebagai wartawan.

Baca juga  Batalkan UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi Menyatakan Bertentangan Dengan UUD 1945

Seorang pengepul botol bekas di kawasan Mauk, Serpong, pada Februari 2014, mengadu ke Dewan Pers. Ia diperas oleh dua orang yang mengaku wartawan sebesar Rp 100 juta. Pasalnya, pada tengah malam saat ia sedang memisahkan dan mengelompokkan antara botol bekas kecap, botol bekas bir, dan botol lainnya dan kemudian mencucinya, tanpa dia sadari ada dua orang menyelinap dan menfoto dirinya yang sedang mencuci botol bir. Sang wartawan kemudian memotret tumpukan botol bir lainnya. Salah satu yang mengaku wartawan kemudian menuduh bahwa si pengepul botol adalah sindikat perdagangan miras. Orang tersebut mengancam akan melaporkan ke pos polisi terdekat. Untuk itu, dia mengajak berdamai asal si pengepul malam itu juga bersedia membayar Rp 100 juta. Dalam situasi ketakutan, si pengepul hanya mampu meyerahkan uang Rp 10 juta dan berjanji akan membayar sisanya pada keesokan hari. Orangyang megaku wartawan meninggalkan nama dan nomor kontak untuk dihubungi lebih lanjut. Saat sang pengepul botol bekas mengadu ke Dewan Pers, baru diketahui bahwa orang yang mengaku wartawan itu adalah oknum abal-abal dari media abal-abal. Dewan Pers menghubungi Polri dan meminta Polri untuk menangani kasus pemerasan tersebut. Ada banyak kasus pemerasan dan praktik abal-abal yang diadukan masyarakat ke Dewan Pers.

 

Artikel ini dikutip dari Jurnal dewan Pers edisi 18 terbit november 2018 dengan judul  Praktik Abal-abal versus Perlindungan Pers  dengan Penulis Yosep Adi Prasetyo.

 

Oleh : Bambang | 13 July 2020 | 12:05:26

Tags :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *