Minggu, Oktober 31st, 2021

POJOK HUKUM

Referensi Berita Akurat,Independen ,Berimbang

MK Tolak Uji Materi UU ITE AJI Atas Pemblokiran Akses Internet di Papua

Minggu, 31 Oktober 2021 by Redaktur : Cahaya Harahap,S.H.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait tindakan pemblokiran internet oleh pemerintah yang tertulis dalam Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). MK beralasan permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Hal tersebut tertuang pada putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 yang bacakan langsung melalui YouTube Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (27/10/2021).

Gugatan uji materi yang diajukan Arnoldus Belau seorang wartawan dan kontributor situs Suarapapua.com sebagai pemohon I, dan Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI), dalam hal ini, diwakili oleh Abdul Manan sebagai Ketua Umum dan Revolusi Riza Zulverdi sebagai Sekretaris Jenderal Perkumpulan Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) sebagai Pemohon II.

Gugatan uji materi terhadap UU ITE pasal 40 ayat 2b tersebut dilakukan terkait pemblokiran internet yang dilakukan pemerintah pasca aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan pada Agustus -September 2019 lalu. 

Akibat pemutusan hubungan internet tersebut Suarapapua.com merasa dirugikan dengan pemberlakuan pasal 40 ayat 2b Undang-undang Nomor 19 tahun 2016.

Selanjutnya, dalam Uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pihak pemohon mendalilkan pemutusan internet serta pemblokiran dalam penerapan pasal 40 ayat 2b telah menyalahi aturan. Selain itu tidak adanya penerbitan KTUN secara tertulis  telah merugikan hak Konstitusional para pemohon.

Selain itu pemohon menyertakan pasal Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 F UUD 1945, sebagai batu pengujinya.

Namun, dalam putusan tersebut hakim berpendapat bahwa, Mahkamah menilai, pemblokiran dan pemutusan internet tidak ada kaitannya dengan inkonstitusional norma.

Selain itu, Mahkamah juga menilai negara berkewajiban untuk melindungi kepentingan umum dalam segala bentuk gangguan dalam menggunakan ITE atau dokumen elektronik.

Apabila ada pemblokiran dan pemutusan internet, maka pemerintah disebut Mahkamah sudah memiliki cara untuk melakukan pemulihan dengan cepat.

Maka dari itu, MK menilai pemblokiran internet tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945 seperti yang didalilkan pemohon. 

Sehingga dalam Amar Putusan Menolak Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

Namun, dari ketujuh hakim dalam sidang uji materi UU ITE tersebut terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (Dissenting Opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra,dengan alasan-alasan sebagai berikut:dua hakim yang berpendapat berbeda atau Dissenting Opinion. dengan alasan hak masyarakat

Kedua hakim itu menilai prosedur pemutusan akses dan atau memerintahkan pemutusan akses harus memperhatikan hak atas informasi setiap warga negara.

“Bahwa prosedur dimaksud juga berhubungan dengan hak atas informasi yang dimiliki warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945,” kata Saldi, dalam sidang putusan yang disiarkan secara daring, Rabu (27/10/2021).

“Oleh karena itu, prosedur pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses haruslah memperhatikan hak-hak atas informasi setiap warga negara sebagai salah satu hak asasi manusia,” tegas dia.

Saldi mengatakan, meski pemerintah memiliki wewenang memutus akses informasi, namun harus tetap ada prosedur yang ditempuh. 

Prosedur perlu diatur secara pasti agar peluang penyalahgunaan wewenang dalam memutus akses informasi tidak terjadi atau setidak-tidaknya dapat dikurangi. 

Sementara, norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE sama sekali tidak memuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan pemutusan akses.

“Dalam hal ini, norma dalam undang-undang mestinya memberikan kepastian mengenai bagaimana pembatasan hak tersebut dilakukan sehingga warga negara atau lembaga yang terdampak akibat pembatasan hak tersebut mengetahui dasar atau pertimbangan pemerintah memutuskan dan/atau melakukan tindakan pembatasan hak atas informasi dimaksud,” tegas Saldi.

Selain itu, Saldi mengatakan, pemerintah harus dibebani kewajiban menggunakan kewenangan dalam konstruksi hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dengan cara menerbitkan penjelasan secara tertulis. 

Pertanggungjawaban tersebut cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun lewat digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik. 

Oleh karena itu, Saldi menilai, seharusnya MK menyatakan Pasal 40 Ayat (2b) UU ITE konstitusional sepanjang dimaknai: 

“Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2a, Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis/digital.”

Baca juga  Presidential Threshold akan Berdampak Buruk untuk Demokrasi Indonesia, Rafly Harun: Presidential Threshold ini Merenggut Hak Konstitusional Pemilih

Tags :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *