Kasasi Ditolak, Herry Wirawan Tersangka Pemerkosa Belasan Santri Di Bandung Tetap Dijatuhi Hukuman Mati Dan Denda Restitusi
Pojokhukum.com – Mahkamah Agung (MA) menguatkan Putusan di tingkat Pengadilan Tinggi, yaitu menjatuhi hukuman mati dan menolak Kasasi dari Herry Wirawan (HW).
Hukuman mati yang diterima HW telah berkekuatan hukum tetap.
Diketahui HW adalah tersangka pemerkosaan 13 santriwati di pondok pesantren yang diasuhnya, kejadian ini berlangsung sedari 2016 sampai dengan 2021 lalu.
Korban dari redu paksa yang dilakukan HW masih berusia 14 s/d 16 tahun, dari ke 13 korban yang di cabulinya, 8 diantaranya telah melahirkan anak.
Selanjutnya, HW mendapat vonis seumur hidup tingkat pertama. Hakim menilai HW terbukti bersalah melakukan pemerkosaan terhadap 13 murid di Bandung.
Namun, jaksa mengajukan banding. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan banding yang diajukan jaksa pada April lalu.
Sehingga putusan pun berubah, memperberat vonis terdakwa HW dari hukuman seumur hidup penjara menjadi vonis mati. Hakim beralasan demi efek jera dan melindungi masyarakat dari perbuatan serupa.
Kemudian, HW pun menggunakan Haknya untuk mengajukan kasasi ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, nasib baik tidak berpihak kepada HW. Mahkamah Agung (MA) yang diketuai hakim agung Sri Murwahyuni justru menguatkan putusan di tingkat Pengadilan Tinggi Bandung yaitu hukuman mati.
Vonis HW dengan nomor perkara 5642/K/PID.SUS/2022 tercantum di website Mahkamah Agung.
Mengenal hukuman mati di Indonesia
Hukuman mati merupakan pidana pokok terberat, disusul pidana penjara, kurungan, denda, dan pidana tutupan.
Meski Indonesia tidak mengharamkan pidana mati, namun pelaksanaannya masih banyak menuai pro dan kontra. di satu sisi ada yang pro terhadap pelaksanaan hukuman mati, namun disisi lain ada yang kontra.
Berbagai macam alasan di benturkan, dari issu Traktat Internasional, HAM, UU1945, dan lain sebagainya.
Jika dipahami pidana mati merupakan sanksi yang diberikan dengan satu pilihan perbuatan mematikan oleh negara kepada pelaku pidana yang telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Menurut sejarah, pidana mati dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Willem Daendels di Indonesia tahun 1808. Kala itu hukuman mati ini diberikan kepada warga pribumi yang tidak mau dijadikan suruhan atau tidak menuruti perintah Daendels.
Pelaksanaan hukuman mati di era modern, berdasarkan UU Nomor 02/Pnps/1964, tiga kali 24 jam sebelum eksekusi, jaksa memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati.
Apabila terpidana hamil, maka hukuman mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
Sebelum eksekusi, Kapolda membentuk regu tembak yang terdiri dari 1 Bintara, 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
Semua regu tembak berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.
Selanjutnya, berikut tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, seperti diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010:
- Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati.
- Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan.
- Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati.
- Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan.
- Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 meter sampai 10 meter dan kembali ke daerah persiapan.
- Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan ucapan, “Lapor, pelaksanaan pidana mati siap.”
- Jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati.
- Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, “Laksanakan.”
- Kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, “Laksanakan.” Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor.
- Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa.
- Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan.
- Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak.
- Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana.
- Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati.
- Jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera melaksanakan penembakan terhadap terpidana.
- Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu Penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana.
- Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
- Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata.
- Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak.
- Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata.
Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir.
Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana.
Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, “Pelaksanaan pidana mati selesai”.
Dasar hukum pidana mati
Adapun dilansir dari Jurnal Syiar Hukum (2007), berikut beberapa hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam KUHP:
- Pasal 104: makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden
- Pasal 111 ayat (2): melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang
- Pasal 124 ayat (3): pengkhianatan memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh di waktu perang, serta menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara atau pemberontakan di kalangan angkatan perang
- Pasal 340: pembunuhan berencana
- Pasal 365 ayat (4): pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati
- Pasal 444: pembajakan di laut yang menyebabkan kematian
- Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2): kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan.
- Hukuman mati di Indonesia juga diatur di luar KUHP. Misalnya, pada UU Narkotika, UU Terorisme, dan UU Tindak Pidana Korupsi.